Rabu, 17 Februari 2010

Istri Tukang Becak Belum Boleh Pulang Dari RS Sebelum Melunasi Rp.1,4 Juta

JAKARTA - SURYA– Kemiskinan terus membelenggu Ny.Hasanih, sampai usianya 56 tahun. Warga Tugu Selatan Kecamatan Koja, Jakarta Utara ini hingga Rabu (10/2) masih 'tinggal' di RSUD Koja karena tak mampu membayar biaya pengobatan Rp1,4 juta.

Hasanih dirawat karena penyakit jantung dan komplikasi penyakit dalam lainnya. Sembilan hari ia dirawat dan mengaku sudah baikan sehingga berkeinginan cepat pulang ke rumahnya. Namun ketika, anaknya, Rumi, mengurus administrasi agar ibunya bisa pulang, pihak rumah sakit mengharuskan membayar Rp1,4 juta dari total biaya pengobatan seluruhnya Rp5,4 juta.

Tarno, suami Hasanih, pun hanya pasrah. Penghasilan sehari-harinya dari mengayuh becak sangatlah tidak mungkin dapat mengeluarkan istrinya dari rumah sakit. Dia mengaku keluarga miskin tapi hanya memiliki surat keterangan tidak mampu (SKTM). Bukan kartu keluarga miskin (gakin) yang digratiskan pemprov DKI Jakarta.

"Saya bingung, cuma punya uang Rp200 ribu saja. Selama ini saya penerima bantuan langsung tunai (BLT) tapi kok nggak bisa gratis ya? Kalau begini bagaimana istri saya bisa pulang?" tanya Tarno yang mengaku memiliki kartu keluarga (KK) dan KTP DKI Jakarta.

Dirut RSUD Koja, dr Togi Asman Sinaga, mengatakan biaya pengobatan pasien SKTM tidak bisa seluruhnya gratis. Artinya ada kontribusi atau pembiayaan dari pasien. Terkait ketidaksanggupan Ny. Hasanih, dr Togi menyarankan untuk menggunakan kartu gakin karena pemilik kartu gakin pengobatannya ditanggung oleh Pemprov DKI melalui Dinas Kesehatan.

GAKIN BELI OBAT LUAR

Masalah obat terkadang membebani pasien keluarga miskin. Seringkali dokter memberikan resep obat yang harus dibeli di luar, yang tentunya harganya jelas mahal sehingga sangat memberatkan. Padahal sesuai ketentuan pasien gakin di Jakarta berobat gratis, tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun.

Kasus ini dialami keluarga Neneng, warga Krukut, Jakata Barat, saat menunggui ayahnya yang dirawat di RSUD Tarakan, Jakarta Pusat. "Kami ini keluarga miskin, kalau harus beli obat di luar kan berat, mana sekali tebus harganya bisa Rp200 ribu. Seharusnya untuk keluarga miskin, semua obat disediakan rumah sakit sehingga tidak jadi beban. Kalau pas tidak punya uang terpaksa pinjam sana sini," ujar Neneng.

Neneng mengaku meski pasien gakin namun mendapat pelayanan yang baik dari RSUD Tarakan. Sejak awal masuk hingga dirawat tidak dipungut biaya sama sekali. Bahkan, waktu pertama masuk dan ruangan di kelas III penuh sempat ditempatkan di kelas II. "Kalau pelayanannya sangat baik, cuma yang memberatkan seringnya menebus obat di luar karena di sini tidak ada," katanya.

Pasien gakin ditempatkan di kelas III, di mana dalam satu ruangan bisa enam orang dan kalau penuh bisa tujuh orang ditambah velbed. Di ruangan tersebut hanya tersedia satu kipas angin kecil, sehingga kalau pasien sangat kepanasan, harus dikipasi keluarga. "Kalau siang hari panasnya minta ampun, pasien dan penunggu mandi keringat. Bahkan malam pun terkadang panas," ucapnya.

Neneng juga mengeluhkan setiap tujuh hari harus datang ke Sudin Kesehatan untuk memperpanjang surat jaminan, sehingga harus mondar-mandir dan ke luar ongkos lagi. "Harusnya kalau sudah dijamin ya tidak perlu setiap waktu diperpanjang," harapnya.

OBAT GENERIK

Wakil Direktur Pelayanan RSUD Tarakan, dr Sutirto Basuki mengatakan memang terkadang ada obat yang harus ditebus di luar, namun tidak semuanya. "Kami sudah mengingatkan para dokter agar untuk pasien Gakin jangan diberikan resep obat beli di luar, tapi harus generik," jelasnya.

Bagi pasien yang membawa kartu gakin, tidak dipungut biaya. Pokoknya gratis dalam setiap pelayanan. "Cuma di sini ruang perawatan kelas III sangat terbatas, bukan berarti menolak kalau sudah penuh. Apalagi setiap orang sakitnya berbeda sehingga tidak bisa dicampur," ucapnya.

ANGGARAN RP413 MILIAR

Menurut Kepala Dinkes DKI, Dien Emawati, tahun 2009 sedikitnya dua juta warga miskin terlayani melalui JPK Gakin dalam memperoleh layanan kesehatannya. Pemprov DKI dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2010 mengalokasikan anggaran Rp413 miliar untuk jaminan pemeliharaan kesehatan warga miskin (JPK Gakin). Dan, menyiapkan 85 rumah sakit sebagai lokasi rujukan program tersebut.

Puluhan rumah sakit di lima wilayah dan telah memiliki ikatan kerjasama dengan Dinas Kesehatan DKI. Rinciannya, di Jakarta Pusat 14 rumah sakit umum (RSU) dan 7 rumah sakit khusus (RSK). Jakarta Utara 10 RSU, dan 3 RSK, Jakarta Barat 9 RSU dan 6 RSK, Jakarta Selatan 8 RSU serta 1 RSK, dan Jakarta Timur 16 RSU dan 6 RSK.

Jaminan Kesehatan tersebut diberikan kepada penduduk yang memiliki KTP dan KK Jakarta. "Masyarakat Jakarta yang tidak memiliki KK atau KTP DKI, pelayanan kesehatannya ditanggung pemerintah pusat melalui program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).

Dien menjamin, seluruh pelayanan kesehatan terhadap keluarga miskin akan terlayani. Namun tidak menampik jika kenyataan di lapangan ada pelayanan yang tidak maksimal lantaran ulah oknum petugas rumah sakit. Untuk itu, Dien mengimbau pada warga yang mengami hal itu untuk segera melaporkan. Pihaknya juga telah menempatkan kotak saran di setiap layanan kesehatan seperti Puskesmas dan RSUD. "Kotak saran itu rutin dibuka setiap satu bulan dan akan segera kami tindaklanjuti," tegas Dien, kemarin.

Dien mengaku perbedaan kualitas pelayanan pasien gakin dan umum. Layanan kepada pemegang kartu gakin di antaranya, pelayanan kesehatan dasar sampai dengan pemeriksaan spesialis, rawat, rawat jalan, pemeriksaan penunjang tindakan medis sederhana, persalinan normal di kelas III dan pemberian obat-obatan.

Kepala Dinkes DKI ini juga berharap pihak kelurahan mempermudah masyarakat dalam mengurus SKTM.

Namun, harus melakukan verifikasi secara menyeluruh ke lapangan sebelum mengeluarkan SKTM. Ini perlu, agar tidak ada kebohongan warga mengenai kondisi kehidupannya. Kelurahan pun harus memberi informasi secara detail kepada masyarakat supaya mengetahui program JPK gakin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar